Ribut-ribut di tubuh PSSI seperti serial di televisi. Pelbagai judul sudah keluar. Dari mulai "Pengurus Bobrok" hingga "pengurus PSSI Menjawab".
Anda bisa menebak kalimat di atas itu berasal dari tahun berapa? Aha! Bukan. Itu bukan berasal dari tahun-tahun belakangan ini ketika sepakbola Indonesia penuh dengan berita brengsek dan menyebalkan. Kalimat di atas berasal dari laporan Majalah Tempo edisi 18 Januari 1986 -- kurang lebih 27 tahun lalu, satu tahun sebelum Indonesia akhirnya berhasil menjadi juara SEA Games 1987 cabang sepakbola untuk pertama kalinya.
Kalimat itu pantas untuk dijadikan pembuka serial tulisan mengenai sejarah [politik] sepakbola Indonesia sebagai ilustrasi tak terbantahkan: betapa sepakbola Indonesia memang penuh dengan cerita kegaduhan, kekisruhan, keruwetan.
Ah, tentu saja sudah banyak yang menulis tentang sepakbola sebagai alat menumbuhkan nasionalisme. Kami tak hendak menceritakan bagaimana Soekano, Hatta, MH Thamrin, Otto Iskandar Dinata atau Ki Hadjar Dewantara punya pemikiran yang sama bahwa sepakbola sebagai alat menumbuhkan nasionalisme.
Rangkaian tulisan mengenai sejarah [politik] sepakbola Indonesia di kanal About The Game ini bukan juga hanya membahas kisruh di tubuh federasi sepakbola kita. Rangkaian tulisan ini hendak menggambarkan bahwa persoalan sepakbola Indonesia memang selalu gaduh sejak dahulu. Kita juga tak bicara tentang apa yang harus dilakukan di masa sekarang terhadap sepakbola, tapi hanya hendak menunjukan bahwa sejarah itu [memang] seringkali berulang.
Ada banyak contoh yang bisa diajukan mengenai perulangan dalam cerita sepakbola kita, beberapa di antaranya bisa disebutkan di sini sebagai ilustrasi:
Di puncak kekuasaan Presiden Soekarno, menjelang diselenggarakannya Pesta Olahraga Ganefo, terjadi dualisme pengelolaan sepakbola antara KOGOR [semacam KONI sekarang] dengan PSSI. Puncak konflik antara KOGOR dengan PSSI adalah terkait pengelolaan tim nasional sepakbola yang akan mengikuti Ganefo. PSSI yang dipimpin Abdul Wahab merasa KOGOR terlalu mendominasi. Kisruh itu tidak merembet seruwet konflik PSSI-KPSI karena Soekarno langsung turun tangan untuk menyelesaikannya. Tidakkah ini mirip dengan kisruh beberapa waktu lalu terkait pengelolaan timnas SEA Games 2014? KPSI, yang memang berkonco dengan KONI, memaksakan agar timnas SEA Games dikelola oleh KONI, bukan PSSI.
Hampir di periode yang sama, tepatnya pada 1961, ketika Soekarno sangat mengagungkan nasionalisme, skandal judi terkuak. Sedikitnya 10 pemain dipecat dari timnas yang dipersiapkan untuk Asian Games yang akan diselenggarakan di Jakarta. Lima pemain lainnya mundur dari timnas karena ikut malu. Mereka adalah Iljas, Pietje, Omo, Rukma, Sunarto, Wowo (Jawa Barat), John Simon, Manan, Rasjid Dahlan (Sulawesi Selatan Tenggara), dan Andjiek (Jawa Timur).
Ke-10 pemain itu terbukti bersalah karena terlibat suap dengan mafia judi di pertandingan melawan Ceko Selection dan Yugoslavia Selection. Pimpinan KOGOR (Komando Gerakan Olahraga) mengeluarkan mereka dari pelatnas Asian Games pada tanggal 22 Februari 1962 dan pengurus PSSI Pusat melarang mereka untuk melakukan kegiatan olahraga dengan SK No. 1261/53/62 tanggal 2 Maret 1962. Keputusan itu juga didasarkan atas putusan pengadilan istimewa Jakarta terhadap para pelaku suap di pertandingan tersebut.
Jika saat ini semua orang sibuk berbicara tentang mafia sepakbola, topik itu sudah muncul dan berhasil dibuktikan secara meyakinkan di masa dulu. Sekarang kita hanya mendengar ribut-ribut tanpa ada tindakan tegas untuk menyelidiki dan menangkap para pelakunya. Hanya kegaduhan.
Bahkan Ketua PSSI saat ini, yang pada masa awal kepemimpinannnya lantang menyuarakan perlawanan terhadap mafia sepakbola, ternyata hanya bersilat lidah. Ah, kampanye seperti biasanya.
Tahun 1937 pernah terjadi pemberontakan terhadap pengurus federasi sepakbola yang diakui FIFA saat itu. Jong Batavia, Bogor, Sukabumi dan Surabaya sepakat membuat federasi baru yang dinamakan NIVU (Nederlandsch Indisch Voetbal Unie) sebagai upaya perlawanan terhadap Nederlandsch Indisch Voetbal Bond (NIVB) federasi yang sah saat itu. Alasan pemberontakan itu dilakukan itu adalah karena perkumpulan sepakbola lokal tersebut dikarenakan pembagian keuntungan karcis masuk pertandingan yang tidak imbang. NIVB mengambil lebih banyak keuntungan dibanding perkumpulan sepakbola lokal yang kemudian membuat NIVU ini.
Belum lagi perlawanan PSIM dengan membentuk PSSI baru di tahun 1937 sebagai upaya perlawanan terhadap federasi sepakbola pimpinan Ir. Soeratin yang dinilai terlalu berkompromi dengan Belanda saat itu. PSIM bergabung dengan perkumpulan sepakbola Jawa Tengah guna membentuk PSSI baru. Tapi PSSI pimpinan Soeratin tak tinggal diam. Tak berselang lama dari pembangkangan PSIM itu, PSSI melakukan aksi pembalasan dengan membentuk PSIM yang baru dengan nama yaitu PERSIM Mataram.
Jika PSSI era Nurdin mengkloning Persebaya setelah klub tersebut hijrah ke Liga Prima Indonesia [LPI], karena dikadali berkali-kali terkait laga melawan Persik demi menyelamatkan Pelita Jaya, PSSI era Soeratin yang sangat diagung-agungkan itu sudah melakukannya lebih dulu. Jika klub-klub ISL melawan PSSI-Djohar dengan ikut membidani terbentuknya federasi tandingan bernama KPSI, puluhan tahun silam PSIM sudah melakukannya.
Anda mengeluhkan banyaknya anggota DPRD dan DPR yang cawe-cawe mengurusi sepakbola? Jangan kuatir, orang seperti Habil Marati, Isran Noor, Achsanul Qosasih, Hinca Pandjaitan, dkk., di masa sekarang punya leluhurnya di masa lalu. Dulu anggota volksraad [dewan perwakilan di masa kolonial] juga banyak yang mengurusi sepakbola. Sebut saja nama: Otto Iskandar Dinata di Persib, MH Thamrin di Persija, Tengku Nyak Arif di Persiraja. Dick de Hood, pendiri klub THOR di Surabaya, juga seorang anggota volksraad. Dan tahukah Anda jika klub THOR itu masih hidup sampai sekarang dan saat ini malah diurus oleh seorang politisi sepakbola yang masih menjadi anggota DPRD Jawa Timur?
Ada satu fakta tambahan yang bisa diajukan untuk menjelaskan dengan amat ilustratif bagaimana politik mengendalikan olahraga, tak terkecuali sepakbola. Menjelang digelarnya Asian Games 1962 di Jakarta, Soekarno sampai mengeluarkan surat edaran berjudul "Amanat Tertulis Presiden Republik Indonesia", yang dengan sangat terus terang menyampaikan keharusan Indonesia masuk 5 besar Asia. Hasilnya: Indonesia peringat 2 dalam Asian Games 1962!
Setahun kemudian, Soekarno kembali mengeluarkan Kepres No. 263/1963 tentang misi Indonesia yang harus masuk dalam 10 besar olahraga di dunia dalam 10 tahun. Kepres itu juga memancangkan ambisi: atlet-atlet Indonesia bukan hanya harus berprestasi, tapi juga mutlak harus berjiwa progresif agar memberi sumbangan pada pembentukan manusia baru Indonesia.
Bisa dibayangkan bagaimana kerasnya suasana pelatnas cabang-cabang olahraga saat itu. Toni Pogacnik, pelatih timnas saat itu yang datang ke Indonesia dalam suasana politik kemesraan hubungan Indonesia dengan negara-negara Eropa Timur, menggenjot habis-habisan pemain-pemain timnas. Silakan Anda bayangkan apa jadinya jika pemain seperti Hamka Hamzah masih aktif bermain di era Soekarno.
Instruksi tanpa tedeng aling-aling itu mengingatkan kita tentang bagaimana Aburizal Bakrie yang sudah jadi ketua umum Partai Golkar membawa para pemain timnas Piala AFF 2010 ke kediamannya? Jika dulu Soekarno yang memberi instruksi melalui Kepres, di era modern pernah terjadi Nurdin Halid menurunkan harga tiket Piala AFF 2010 karena mengikuti seruan Ical.
Anda bisa melihat paralelismenya, bukan? Kekisruhan dan kegaduhan yang terus berulang. Dan itu hanya sedikit contoh dari belasan insiden dan peristiwa historis yang akan kami paparkan dalam serial artikel yang akan kami turunkan mulai hari ini.
Dan untuk semua paralelisme yang seringkali menyebalkan itu kita hanya perlu menyebut satu hal: politik!
Hubungan antara sepakbola dan politik adalah unik. Sepakbola dan politik nyatanya berbagi banyak kesamaan. Sepakbola dan politik memiliki jutaan penonton, sepakbola dan politik menghasilkan tribalisme yang ekstrim. Sepakbola dan politik sama-sama memunculkan harapan berbagi, bersenang-senang dalam kemenangan, persaingan dan kekalahan, pertikaian dan perselisihan.
Di sepakbola dan politik ada teladan dan tokoh inspiratif nan hebat yang diakui secara internasional, ada pahlawan lokal yang sangat dicintai. Dan media menunggu cerita sepakbola dan politik atas loyalitas dan persaingan sengit dari para pendukung mereka. Dan di saat-saat tertentu, politik dan sepakbola memiliki kemampuan untuk mempersatukan bangsa. Menciptakan harapan pada saat tragedi dan mendatangkan gembira pada saat datang kemenangan.
Pengaruh sepakbola sangat besar terhadap banyak kalangan. Andik Vermansyah mungkin hanya berkutat berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lewat berdagang kalau dia tidak menemukan sepakbola. Sepakbola juga memberikan bantuan dari kesulitan hidup sehari-hari. Sepakbola menawarkan kesempatan pada manusia untuk melarikan diri dari kekhawatiran dan kecemasan mengenai keadaan ekonomi hari esok.
Sepakbola juga menghadirkan tentang merayakan kebanggan nasional, kebanggaan lokal, mendorong potensi lokal. Dan politik bisa belajar dari sepakbola dalam banyak hal ini.
Di bulan April ini, tepat pada perayaan 83 tahun lahirnya PSSI, kami hendak menyajikan kado yang manis untuk para pembaca tentang sepakbola Indonesia, tentang kejayaan, kebangaan, kegaduhan. Sekarang atau dulu ternyata sama saja. Sepakbola Indonesia tak banyak berubah.
Jika melihat federasi sepakbola Italia sebagai contoh pun ternyata sama. Kegaduhan, skandal, politisi yang menjalankan sepakbola itu masih terjadi. Bedanya, di Italia, hukum lebih ditegakkan dan federasi mengambil tindakan untuk antisipasi atas apa yang akan terjadi. Di Indonesia? Di sini hanya kisruh dan kegaduhan saja yang terdengar sejak dahulu. Ya memang, sejarah itu berulang. Sejarah kegaduhan sepakbola, sejarah sepakbola yang dijalankan para politisi.
Orang mungkin bisa berargumen: level Soekarno, Thamrin, Otto Iskandar Dinata saat mengurusi sepakbola berbeda dengan level politisi zaman sekarang. Mereka menjalankan misi mulia nasionalisme, sementara sekarang hanya mengejar kepentingan-kepentingan jangka pendek demi kekuasaan semata. Argumen seperti itu tak sepenuhnya salah, tapi perlu juga dicatat: politik niscaya selalu tentang kekuasaan. Dan di hadapan kekuasaan, semua orang berpotensi sama: punya kecenderungan menyalahgunakan dan koruptif -- apapun dan bagaimanapun mulia tujuan awalnya.
Karena potensi itulah politik seringkali dihindari tapi tak habis-habisnya orang menggeluti jalan politik. Potensi negatif politik itu toh tak menutupi kenyataan mendasar: mustahil terjadi perubahan mendasar tanpa terjadinya perubahan di lapangan politik.
Kegagalan memahami sekaligus memaksimalkan secara cerdik daya politik ini yang menyebabkan rezim Djohar Arifin gagal secara dini dalam menuntaskan agenda reformasi sepakbola di Indonesia. Jelas sebuah kesalahan mendasar jika ingin menghancurkan rezim lama yang canggih dalam berpolitik tanpa pemahaman yang memadai mengenai bagaimana politik dijalankan dalam sepakbola.
Ya, politik adalah panglima! Demikian judul besar dari era Demokrasi Terpimpin Soekarno dulu. Dan olahraga adalah salah satu eksperimen terpenting Soekarno dalam menjadikan politik sebagai panglima. Tidak heran jika dedengkot PKI, si flamboyan Njoto, memuat ultimatum penting di Harian Rakjat edisi 4 Maret 1964: "Kalau sport sudah politik, apalagi sastra dan seni!"
Dan semoga, kelak di artikel penutup serial tulisan ini, semoga kami bisa mengajukan sebuah hipotesis yang meyakinkan: jika memang politik mustahil dipisahkan dari sepakbola, maka harus ada formula paling aman untuk mengakomodasi politik dalam sepakbola.
Bagaimana dan seperti apa formulasinya? Mari kita berpolemik!
0 comments:
Post a Comment