Pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai
luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan
tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke
arah keluhuran hidup kemanusiaan.
Upaya kebudayaan (pendidikan)
dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan Teori Trikon, yakni:
- · Kontinu
- · Konsentris
- · Konvergen
Pelaksanaan pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang oleh beliau diberi
nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu:
- · Alam keluarga
- · Alam perguruan
- · Alam pergerakan pemuda
- · Bidang Pengajaran
Pengajaran merupakan salah satu
jalan pendidikan yaitu suatu usaha memberi ilmu pengetahuan serta kepandaian
dengan latihan-latihannya yang perlu dengan maksud memajukan kecerdasan fikiran
(intelek) serta berkembangnya budi pekerti. Ki Hajar Dewantara di bidang
pengajaran meletakkan konsep-konsep dasar pengajaran meliputi:
- · Teori dasar-ajar
- · Trisakti jiwa
- · Sistem among
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli
Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya
manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia
seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang
terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik
dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya
menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan
olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang
humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang
sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain
adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya.
Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi
adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat
itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia
kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain
dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang
melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan
mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan
pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan
yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi
Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan
bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah
fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai
fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri
memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang
keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan
kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan
maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu
menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan
pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun
kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini
mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi,
kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian
Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan
mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan
yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah
nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya
nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis,
maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law),
segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya
adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan,
dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia.
Suasana yang dibutuhkan dalam
dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan
hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya.
Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu
peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan
spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual
sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya
setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap
dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri,
mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya
rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para
peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang
berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota
masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan
kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini
adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud
dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan
selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan
menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara
pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Guru yang efektif memiliki
keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi)
dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan
komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait);
segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap
profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan
keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu
etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri
dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam
kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional:
secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan
kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan
mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan
secara utuh setiap peserta didik.
0 comments:
Post a Comment